Picture

Masjid Al Aqsha adalah nama sebuah kompleks seluas 144.000 meter persegi yang berada di Kota Lama Yerusalem.

Umat muslim meyakini, Nabi Muhammad singgah di Masjid Al-Aqsa dalam perjalanan Isra Mikraj menuju langit. Tempat pijakan tersebut berbentuk batu yang kini terdapat di Dome of The Rock.

Dome of The Rock menjadi kubah pertama yang dibangun dalam sejarah Islam. Bangunan itu dibangun oleh Khalifah Umayyah Abdul Malik bin Marwan. 
Penambahan lapisan emas pada kubah dilakukan pada masa pemerintahan Ottoman. 

Tampak depan Masjid Al-Aqsha

Tampak depan Masjid Al-Aqsha. Sumber foto: Wikipedia

Masjid Al Aqsha Tempat Suci Ke-3

Masjid Al Aqsha adalah tempat suci ketiga umat Islam setelah Masjid Al Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Dalam kepercayaan umat Islam, Masjid Al Aqsha adalah tempat ibadah tertua di dunia setelah Masjid Al Haram. Imam Muslim menyampaikan hadits yang diriwayatkan dari Abu Dzar Al-Ghifari:
Saya bertanya kepada Rasulullah saw. mengenai masjid yang mula-mula dibangun di atas bumi ini.

Rasulullah saw. menjawab, “Masjid Al-Haram.”
Saya bertanya, “Kemudian masjid mana?”
Rasulullah saw. menjawab, “Masjid Al Aqsha.”
Saya bertanya, “Berapa jarak waktu antara keduanya?”
Rasulullah saw. menjawab, “Empat puluh tahun. Kemudian seluruh bumi Allah adalah tempat sujud bagimu. Maka di manapun kamu mendapati waktu salat, maka shalatlah.

Akses Menuju ​Masjid Al Aqsha

Papan keterangan dalam bahasa Ibrani dan Inggris di luar Bait Sucimenampilkan larangan menurut Taurat untuk memasuki area ini.
Sementara semua warganegara Israel yang muslim diperbolehkan untuk masuk dan beribadah di Masjid Al Aqsha, Israel pada waktu-waktu tertentu menetapkan pembatasan ketat akses masuk ke masjid untuk orang YahudiMuslim Palestina yang tinggal di Tepi Barat atau Jalur Gaza, atau pembatasan berdasarkan usia untuk warga Palestina dan warganegara Israel keturunan Arab, seperti memberi izin masuk hanya untuk pria yang telah menikah dan setidaknya berusia 40 atau 50 tahun. Wanita Arab kadang-kadang juga dibatasi sehubungan dengan status perkawinan dan usia mereka. Alasan Israel untuk pembatasan tersebut adalah bahwa pria Palestina yang berusia tua dan telah menikah cenderung “tidak menyebabkan masalah”, yaitu bahwa secara keamanan mereka lebih tidak berisiko.

Banyak rabbi, termasuk para ketua rabbi Israel sejak tahun 1967, telah memutuskan bahwa orang Yahudi tidak boleh berjalan di Bukit Bait Suci karena terdapat kemungkinan mereka menginjak Kodesh Hakodashim, yaitu lokasi yang dianggap tersuci oleh orang Yahudi.

Pembatasan dari pemerintah Israel hanya melarang dilakukannya doa Yahudi di Bukit Bait Suci, tetapi tetap mengizinkan orang Yahudi maupun non-Muslim lainnya untuk berkunjung pada berjam-jam tertentu selama hari-hari tertentu dalam seminggu. Beberapa rabbi dan para pemimpin Zionis telah mengajukan tuntutan agar orang-orang Yahudi diperbolehkan untuk berdoa di tempat itu pada hari-hari raya Yahudi.

Meskipun Mahkamah Agung Israel telah mendukung hak berdoa perorangan (bukan secara berkelompok), namun dalam praktiknya polisi Israel melarang orang Yahudi untuk berdoa “secara terang-terangan dalam bentuk apapun juga di Bukit Bait Suci, meskipun bila hanya menggerak-gerakkan bibirnya saja ketika berdoa”.

Sejarah Masjid Al-Aqsha

Menara Al Ghawanimah - 1900

Menara Al Ghawanimah, 1900.
Masa Bani Israel
Bukit tempat Masjid Al Aqsha berada dipercaya telah dihuni sejak millenium keempat sebelum Masehi. Menurut Alkitab Ibrani, Nabi Dawud (Raja Daud) membeli sebidang tanah di Yerusalem dari salah satu suku Yebus, suku Kan’an untuk dibangun sebuah tempat ibadah di atasnya. Namun keinginan itu baru terwujud di masa putra dan penerusnya, Sulaiman (Salomo), yang kemudian membangun tempat ibadah yang dikenal dengan Bait Suci pertama, Bait Salomo, atau Kuil Sulaiman. Lokasi pasti dari Bait Suci pertama ini masih tidak diketahui, tetapi dipercaya berada pada tempat yang sekarang menjadi kompleks Masjid Al Aqsha.

Masa kekuasaan Persia, Hashmonayim, dan HerodesSetelah Nebukadnezar II, Raja Babilonia, menghancurkan Bait Suci pertama pada 586 SM, Raja Koresh yang Agung memulai pembangunan Bait Suci kedua pada tahun 538 SM. Sekitar tahun 19 SM, Raja Herodes yang Agung membangun ulang dan memperlebar Bait Suci, melibatkan sampai 10.000 pekerja.
Pada tahun 66 M, umat Yahudi melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Romawi. Empat tahun kemudian, pasukan Romawi di bawah kepemimpinan Titus Flavius Vespasianus menyerang dan menghancurkan Yerusalem beserta Bait Suci kedua.

Masa Romawi
Pada tahun 130 M, Kaisar Hadrianus menjanjikan untuk membangun ulang Yerusalem, tetapi umat Yahudi merasa dikhianati karena sang kaisar hendak membangun kota berdasarkan kepercayaan pagannya, juga hendak membangun kuil yang dipersembahkan bagi pemujaan Dewa Yupiter di bekas reruntuhan Bait Suci kedua. Ketegangan antara pemerintah Romawi dan umat Yahudi semakin memanas saat sang kaisar juga melarang perintah sunat yang dipandang sebagai sebentuk mutilasi bagi kaisar yang menganut seorang penganut Helenis taat. Hal ini berujung pada pemberontakan yang dipimpin Simon Bar Kokhba. Namun pemberontakan itu berhasil dihancurkan pihak Romawi pada tahun 135 M. Akibatnya, umat Yahudi diusir dari Palestina, dilarangnya penggunaan hukum Taurat dan penanggalan Yahudi, dan menghukum mati ahli Yahudi. Kaisar Hadrianus membangun ulang kota Yerusalem sebagai sebuah kota Romawi bernama Aelia Capitolina dan umat Yahudi dilarang memasukinya. Di sisi lain, agama Kristen mulai bangkit dan menyebar di tubuh Kekaisaran Romawi hingga pada akhirnya menjadi agama resmi negara. Kaisar Konstantinus I melakukan kristenisasi masyarakat Romawi dan mengunggulkannya atas pemujaan paganisme. Kuil Yupiter yang dibangun Kaisar Hadrianus di reruntuhan Bait Suci kedua dihancurkan segera setelah Konsili Nicea I atas perintah Konstantinus I.
Keponakan Konstantin, Kaisar Flavius Claudius Julianus memberikan izin kepada umat Yahudi kembali dan membangun ulang Bait Suci mereka pada tahun 363.[22][23] Julianus sendiri memandang bahwa Tuhan umat Yahudi merupakan anggota yang sesuai untuk Dewa-Dewa Pantheon yang dia percaya, selain dia juga adalah penentang kuat Kristen.[22][24] Sejarawan gereja menyatakan bahwa umat Yahudi mulai membersihkan puing-puing di Bukit Bait, tetapi gagal lantaran gempa bumi dan kemudian kemunculan api dari dalam bumi.[25] Namun bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa terdapat bangunan gereja, biara, atau bangunan umum lain yang berdiri di atas Bukit Bait pada masa kekuasaan Romawi Timur.

Masa Sasania
Pada tahun 610, Kekaisaran Sasania Persia mengalahkan Romawi dan merebut Palestina. Umat Yahudi diberi wewenang untuk mendirikan negara bawahan dan mulai membangun Bait Suci. Namun lima tahun kemudian, Romawi kembali mengambil alih Palestina dan umat Kristen menghancurkan Bait Suci yang belum selesai pembangunannya dan menjadikan tempat itu sebagai tempat pembuangan sampah.

Masa kekhalifahan
Pada tahun 637, umat Islam mengambil alih kepemimpinan atas Yerusalem dari tangan Romawi Timur pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khaththab. Kompleks reruntuhan Bait Suci, dikenal sebagai Masjid Al Aqsha atau Baitul Maqdis oleh umat Islam, ditemukan Umar dalam keadaan tidak terawat. Meski begitu, Umar kemudian menemukan Batu Fondasi atas bantuan Ka’b Al Ahbar, seorang Yahudi yang telah masuk Islam. Batu ini diyakini sebagai titik pijakan Nabi Muhammad naik ke langit dalam kepercayaan umat Islam dan tempat Nabi Ibrahim (Abraham) hendak menyembelih anaknya, Ishaq, dalam kepercayaan umat Yahudi. Al Ahbar mengusulkan untuk membangun masjid di sebelah utara batu tersebut agar umat Islam dapat menghadap ke arah Ka’bah dan batu tersebut dalam satu garis lurus saat shalat. Namun Umar menolak gagasan itu dan membangun masjid di selatan batu.[28] Pernyataan saksi mata yang pertama diketahui berasal dari Arcluf yang mengunjungi Masjid Al Aqsha pada tahun 670. Berdasar pernyataan Arcluf yang dicatat oleh Adomnán, dia melihat bangunan ibadah kayu persegi panjang dibangun di atas reruntuhan dan dapat menampung setidaknya 3.000 jamaah. [29][30]
Di masa Kekhalifahan Umayyah, mulai didirikan beberapa bangunan di tanah Masjid Al Aqsha. Pada tahun 691, didirikan sebuah bangunan segi delapan berkubah yang menaungi Batu Fondasi oleh Khalifah Abdul Malik. Bangunan itu yang kemudian dikenal dengan Kubah Shakhrah, secara harfiah bermakna kubah batu.

Masa Ksatria Salib
Setelah kemenangan umat Kristen pada Perang Salib Pertama pada tahun 1099, kepemimpinan Yerusalem beralih ke tangan umat Kristen. Umat Muslim berlindung di Masjid Al Aqsha, tetapi hal tersebut tidak menolong. Gesta Francorum menyatakan “(Orang-orang kita) membunuh dan menyembelih bahkan di Bait Salomo (Masjid Al Aqsha), pembantaian begitu besar sampai orang-orang kita mengarungi darah setinggi mata kaki.” Fulcher, pendeta yang turut serta dalam Perang Salib pertama, menyatakan, “Di Bait (Suci) 10.000 orang terbunuh. Memang, jika Anda di sana, Anda akan melihat kaki Anda diwarnai darah dari orang-orang yang terbunuh sampai mata kaki. Tapi apa lagi yang harus saya hubungkan? Tak satupun dari mereka dibiarkan hidup, baik wanita maupun anak-anak tidak diampuni.” [31] Setelah peristiwa ini, Kerajaan Kristen Yerusalem didirikan. Jami’ Al Aqsha diubah menjadi istana kerajaan dengan nama Templum Solomonis atau Kuil Sulaiman (Salomo) dan Kubah Shakhrah diubah menjadi gereja dengan nama Templum Domini (Kuil atau Bait Tuhan).

Masa kekhalifahan dan Israel
Kepemimpinan Yerusalem beralih kembali ke tangan umat Islam pada 1187 setelah kemenangan Shalahuddin Al Ayyubi. Semua jejak dan bekas peribadahan Kristen di Masjid Al Aqsha dihilangkan dan kompleks tersebut kembali kepada kegunaan asalnya. Kewenangan umat Islam terhadap Masjid Al Aqsha cenderung tanpa gangguan hingga lepasnya wilayahnya Palestina dari Utsmaniyyah. Setelah Perang Enam Hari, pemerintah Israel mengambil alih kepemimpinan Kota Lama Yerusalem, termasuk di dalamnya Masjid Al Aqsha. Kepala Rabi dari Pasukan Pertahanan Israel, Shlomo Goren, memimpin pasukan melaukan perayaan keagamaan di Masjid Al Aqsha dan Tembok Barat dan mengeluarkan maklumat untuk menjadikan hari tersebut sebagai hari raya “Yom Yerushalayim” (Hari Yerusalem). Beberapa hari setelah itu, 200.000 umat Yahudi berbondong-bondong mendatangi Tembok Barat dan ini adalah ziarah massal pertama umat Yahudi ke kompleks ini sejak tahun 70 M. Awalnya pihak berwenang Muslim tidak menghalangi Goren ketika dia beribadah di Masjid Al Aqsha, hingga pada hari Tisha B’Av dia membawa lima puluh pengikutnya sembari membawa dan mengenalkan shofar (terompet Yahudi) dan tabut portable saat ibadah, membuat ini dipandang sebagai peringatan keras bagi Lembaga Waqaf Yerusalem yang menggiring kepada buruknya hubungan antara pemerintah Israel dan pihak berwenang Muslim.

Kejadian Tragis
Pada Juni 1969, seorang Australia berusaha membakar Jami’ Al Aqsha. Pada 11 April 1982, seorang Yahudi bersembunyi di Kubah Shakhrah dan melepaskan tembakan, membunuh dua orang Palestina dan 44 terluka. Pada 1974, 1977, dan 1983, kelompok yang dipimpin Yoel Lerner merancang makar untuk meledakkan Kubah Shakhrah dan Jami’ Al Aqsha. Pada 26 Januari 1984, penjaga menemukan anggota B’nei Yehuda mencoba menyusup ke dalam kawasan Masjid Al Aqsha dan meledakkannya. Pada 8 Oktober 1990, pasukan Israel yang berpatroli di daerah tersebut memblokir jamaah untuk masuk ke Al Aqsha. Gas air mata ditembakkan kepada jamaah wanita yang menyebabkan ketegangan meningkat. Pada tanggal 12 Oktober 1990, umat Islam Palestina memprotes keras niat beberapa orang Yahudi untuk meletakkan batu penjuru di lokasi Kuil Baru sebagai awal penghancuran masjid-masjid Muslim.Upaya tersebut dihambat oleh pihak berwenang Israel , tetapi para demonstran dilaporkan secara luas karena telah melempari batu kepada umat Yahudi di Tembk Barat. Menurut sejarawan Palestina Rasyid Khalidi, jurnalisme investigatif menunjukkan bahwa tuduhan ini salah. Batu-batu akhirnya dilempar sementara pasukan keamanan melepaskan tembakan yang menewaskan 21 orang dan melukai 150 lainnya. Pada bulan Desember 1997, Badan Keamanan Israel mendahului upaya ekstrimis Yahudi untuk melempar kepala babi yang terbungkus halaman Al Qur’an ke daerah tersebut untuk menyulut kerusuhan dan mempermalukan pemerintah.

Antara tahun 1992 sampai 1994, pemerintah Yordania melapisi kubah dari Kubah Shakhrah dengan 5.000 pelat emas. Mimbar Shalahuddin juga dipulihkan. Perbaikan ini diperintahkan Husain, Raja Yordania, dengan anggaran pribadi sebanyak $8 juta.
Pada 28 September 2000, pemimpin oposisi Israel Ariel Sharon mengunjungi Masjid Al Aqsha bersama dengan utusan Partai Likud dan sejumlah polisi anti huru-hara Israel. Kunjungan itu dipandang sebagai isyarat provokatif bagi rakyat Palestina yang kemudian berkumpul di tempat tersebut. Demonstrasi dengan cepat berubah menjadi kerusuhan dan ini menjadi pemicu terjadinya Intifadhah Kedua.
Keadaan kembali memanas saat tiga pria keturunan Arab melakukan tembakan terhadap dua polisi Israel pada Jum’at, 14 Juli 2017. Sebagai tanggapan atas peristiwa tersebut, dua pria itu ditembak mati setelah sebelumnya mencoba melarikan diri dan melakukan penutupan atas Masjid Al Aqsha dan melarang Muslim Palestina untuk shalat di sana. Mufti Agung Yerusalem, Syaikh Muhammad Ahmad Husain mengecam penutupan tersebut dan kemudian ditahan oleh polisi Israel setelah memimpin doa terbuka di dekat tempat kejadian perkara, meski kemudian dibebaskan dengan sejumlah jaminan.

Bacaan Lainnya

​Sumber bacaan: Wikipedia, Detik, Kumparan

     

 

 


By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *