Menapak Jejak Sembilan Wali Penyebar Agama Islam di Indonesia (Wali Songo)

Sejarah agama Islam mulai turunnya wahyu pertama pada tahun 622 yang diturunkan kepada rasul yang terakhir yaitu Muhammad bin Abdullah di Gua Hira, Arab Saudi sampai dengan sekarang. Di Nusantara yang beragam budaya dan kepercayaan, jejak Wali Songo menjadi tonggak penting dalam penyebaran Islam. Dengan semangat dan ketulusan, sembilan tokoh ini membawa cahaya Islam yang mengubah wajah dan hati masyarakat.

Di artikel ini, kita akan memperkenalkan secara mendalam siapa saja sembilan tokoh yang dikenal sebagai Wali Songo. Menggali latar belakang, pendidikan, dan perjalanan spiritual mereka yang mempersatukan Indonesia dengan nilai-nilai Islam.

Islam telah dikenal di Indonesia pada abad pertama Hijriyah atau 7 Masehi, meskipun dalam frekuensi yang tidak terlalu besar hanya melalui perdagangan dengan para pedagang muslim yang berlayar ke Indonesia untuk singgah untuk beberapa waktu. Pengenalan Islam lebih intensif, khususnya di Semenanjung Melayu dan Nusantara, yang berlangsung beberapa abad kemudian.Agama islam pertama masuk ke Indonesia melalui proses perdagangan, pendidikan dan lain-lain.

Ada beberapa pendapat mengenai arti Wali Songo. Pertama adalah Wali yang ber-Sembilan, yang menandakan jumlah wali yang ada Sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia.

Masjid demak
Masjid Agung Demak (Jawa Tengah), diyakini sebagai salah satu tempat berkumpulnya para wali yang paling awal. Astayoga at English Wikipedia, Public domain, via Wikimedia Commons

Pengaruh Pelayaran Cheng Ho

Zheng He dianggap telah mendiami komunitas Muslim Tionghoa di Palembang dan sepanjang pantai Jawa, Semenanjung Malaya, dan Filipina. Umat Islam ini diduga mengikuti mazhab Hanafi dalam bahasa Cina. Komunitas Muslim Tionghoa ini dipimpin oleh Haji Yan Ying Yu yang menghimbau para pengikutnya untuk berasimilasi dan menggunakan nama lokal.

Zheng He (1371–1433 atau 1435), awalnya bernama Ma He, adalah seorang kasim istana Hui, pelaut, penjelajah, diplomat, dan laksamana armada pada awal Dinasti Ming Tiongkok. Zheng memimpin pelayaran ekspedisi ke Asia Tenggara, Asia Selatan, Asia Barat, dan Afrika Timur dari tahun 1405 hingga 1433. Kapal-kapalnya yang lebih besar memiliki panjang 400 kaki (Santa Maria di Columbus, sebagai perbandingan, memiliki panjang 85 kaki). Kapal ini membawa ratusan pelaut di empat tingkat dek. Sebagai favorit Kaisar Yongle, yang membantu perebutan kekuasaannya, ia naik ke puncak hierarki kekaisaran dan menjabat sebagai komandan ibu kota selatan Nanjing (ibu kota kemudian dipindahkan ke Beijing oleh Kaisar Yongle). Pelayaran ini telah lama diabaikan dalam sejarah resmi Tiongkok namun menjadi terkenal di Tiongkok dan luar negeri sejak diterbitkannya Biografi Navigator Agung Tanah Air Kita, Zheng He karya Liang Qichao pada tahun 1904. Sebuah prasasti tiga bahasa yang ditinggalkan oleh sang navigator ditemukan di pulau Sri Lanka tak lama kemudian. Sumber: Wikipedia

Stamps of Indonesia, 026-05
Perangko Indonesia memperingati pelayaran Cheng Ho untuk mengamankan jalur maritim, mengantarkan urbanisasi dan membantu menciptakan kesejahteraan bersama. Post of Indonesia, Public domain, via Wikimedia Commons

Berikut Nama-Nama Sembilan Wali Penyebar Agama Islam Di Nusantara

Mari telaah peran dan warisan dari setiap Wali Songo yang membentuk kultur dan spiritualitas Islam di Indonesia. Sejarah para Wali Songo berkisar pada abad ke-15 hingga awal abad ke-16, sekitar 500-600 tahun yang lalu.

Komposisi Wali Sango berbeda-beda tergantung pada sumber yang berbeda. Daftar berikut diterima secara luas, namun keasliannya sangat bergantung pada kutipan berulang-ulang dari beberapa sumber awal, yang diperkuat sebagai “fakta” dalam buku pelajaran sekolah dan catatan modern lainnya. Daftar ini agak berbeda dengan nama-nama yang dikemukakan dalam naskah Babad Tanah Jawi (Sejarah Tanah Jawa).

Pada awalnya, tidak mudah bagi Islam untuk masuk dan berkembang di nusantara. Bahkan dalam catatan sejarah, dalam kurun waktu sekitar 800 tahun, Islam belum mampu membangun kehadirannya secara substansial. Catatan dari zaman Dinasti Tang di Tiongkok menunjukkan bahwa para saudagar dari Timur Tengah pernah datang ke kerajaan Shih-li-fo-shi (Sriwijaya) di Sumatra, dan Holing (Kalingga) di Jawa pada tahun 674 M, (yaitu pada masa peralihan Khalifah Ali ke Mu’awiya). Pada abad ke-10, sekelompok orang Persia yang disebut suku Lor datang ke Jawa. Mereka tinggal di suatu daerah di Ngudung (Kudus) yang disebut juga Loram (dari kata “Lor” yang berarti Utara). Mereka juga membentuk komunitas lain di daerah lain, misalnya di Gresik. Keberadaan nisan Fatimah binti Maimun bin Hibatallah di Gresik yang berasal dari abad ke-10 M dianggap sebagai bukti masuknya migrasi suku Persia.

1. Sunan Gresik Atau Maulana Malik Ibrahim, Abad ke-14 hingga awal abad ke-15.

Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim dianggap pertama kali menyebarkan Agama Islam di tanah Jawa. Ia dimakamkan di Desa Gapurosukolilo kota Gresik, Jawa Timur. Ia merupakan Wali senior di antara para wali sanga lainnya. Daerah yang ditujunya pertama  kali ialah desa Sembalo, sekarang adalah daerah Leran, Kecamatan Manyar, yaitu 9 KM ke arah utara kota Gresik. Ia lalu mulai menyiarkan agama Islam di tanah Jawa bagian timur, dengan mendirikan Masjid pertama di desa Pasucinan, Manyar.

Budi pekerti dan ramah tamah selalu diperlihatkan saat pergaulan sehari-hari dengan masyarakat. Sunan Gresik juga mengajarkan cara bercocok ke masyarakat untuk mengambil hati.
Sunan Gresik juga mendirikan pondok pesantren dan masjid sebagai tempat untuk mengajarkan agama Islam.

Ajaran: Sunan Gresik mengajarkan tentang kebijaksanaan spiritual dan ketakwaan kepada Allah.

2. Sunan Ampel atau Raden Rahmat, Abad ke-15.

Dengan nama asli Raden Rahmat menyebarkan Islam di daerah Ampel, Surabaya. Ia disebutkan masih berkerabat dengan salah seorang istri atau selir dari Brawijaya Raja Majapahit. Sunan Ampel umumnya dianggap sebagai sesepuh oleh para wali lainnya. Ia menikah dengan Nya Ageng Manila, putrid Adipati Tuban bernama Arya Teja.

Ajaran: Sunan Ampel mengajarkan tentang pentingnya ilmu pengetahuan dan akhlak yang baik.

3. Sunan Bonang atau Raden Maulana Makdum Ibrahim, Abad ke-15.

Sunan Bonang dilahirkan pada tahun 1465 M dengan Nama Raden Maulana Makdum Ibrahim. Dia adalah putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila. Bonang adalah sebuah desa di Kabupaten Rembang. Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M, dan saat ini makan aslinya berada di desa Bonang. Namun yang sering diziarahi adalah makamnya di kota Tuban. Lokasi makam Sunan Bonang ada dua karena konon ketika beliau meninggal, kabar wafatnya sampai terdengar oleh seorang  muridnya yang berasal dari Madura.

Ajaran: Sunan Bonang mengajarkan tentang harmoni antara agama Islam dan budaya lokal serta perdamaian antarumat beragama.

4. Sunan Drajat atau Raden Qasim, Abad ke-15.

Dia juga putra dari Sunan Ampel, nama aslinya adalah Syarifuddin. Dia menyebarkan Islam di daerah Gresik atau Sedayu. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putrid Adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Drajat banyak berdakwah kepada masyarakat kebanyakan ia menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat, sebagai pengalaman dari agama Islam.
​Pesantren Sunan Drajat dijalankan secara mandiri sebagai wilayah perdikan, bertempat di desa Drajat, kecamatan Paciran, Lamongan. Tembang Macapat pangkur disebutkan sebagai ciptaannya. Gamelan Singomengkok peninggalannya terdapat di Musium Daerah Sunan Drajat, Lamongan. Sunan Drajat diperkirakan wafat pada tahun 1522 M.

Ajaran: Sunan Drajat mengajarkan tentang ketekunan dalam beribadah dan keberanian dalam menyebarkan ajaran Islam.

5. Sunan Giri atau Raden Paku atau ‘Ainul Yaqin, Abad ke-15.

Sunan Giri adalah nama salah seorang walisongo dan pendiri kerajaan Giri Kedaton. Berkedudukan di daerah Gresik Jawa Timur. Ia lahir di Blambangan tahun 1442. Sunan Giri memiliki beberapa nama panggilan yaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden ‘Ainul Yaqin dan Joko Samudra. Ia dimakamkan di desa Giri, Kebomas, Gresik.
Sunan Giri merupakan buah pernikahan dari Maulana Ishaq, seorang mubaligh Islam di Asia tengah dengan Dewi Sekardadu, putri Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa akhir Majapahit. Namun kelahirannya dianggap telah membawa kutukan berupa wabah penyakit di wilayah tersebut. Maka ia dipaksa ayahandanya untuk membuang anak yang baru dilahirkannya itu. Lalu Dewi Sekardadu dengan rela menghanyutkan anaknya itu ke laut atau selat bali sekarang ini.
Sunan Giri atau Raden Paku tidak hanya menyebarkan Islam di tanah Jawa tapi juga sampai ke Maluku. Sunan Giri menyebarkan Islam melalui dunia seni dan sangat berpengaruh terhadap pemerintahan di Kerajaan Demak yang merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa. Kompleks kuburan yang berada di puncak bukit Giri berada di tengah-tengah kuburan keluarga dan umum pada masa itu.
Sunan Giri yang merupakan salah satu anggota Wali Songo yang juga menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa, meninggal dunia pada tahun 1428 saka atau tahun 1506 M.
Sarana tersebut adalah areal parkir jamaah, dan di dalam kompleks pemakaman terdapat fasilitas penunjang: Masjid Giri, dan wisata daya tarik lainnya dan di dalam Makam Sunan Giri terdapat: kubah kuburan kayu jati asli, dindingnya terdiri dari panel flora, sedangkan ada Scorpion Makara pada pintu kubahnya yang bermotif flora. Banyak motif kelalaian arkeologi pada masa awal agama Islam, misalnya pintu gerbang kuburan yang terbuat dari batu berbentuk kepala raja naga.

Ajaran: Sunan Giri mengajarkan tentang kesederhanaan dan kejujuran dalam kehidupan sehari-hari serta mencintai sesama manusia.

6. Sunan Kudus atau Ja’far Shadiq, Abad ke-15.

Nama aslinya adalah Syeikh Ja’far Shodik. Ia menyebarkan ajaran Islam di daerah Kudus. Sebagai salah satu seorang wali, Sunan Kudus memiliki peranan yang besar dalam pemerintahan Kesultanan Demak, yaitu sebagai Panglima perang dan hakim peradilan Negara. Ia banyak berdakwah di kalangan kaum penguasa dan priyayi Jawa.

Ajaran: Sunan Kudus mengajarkan tentang toleransi antaragama dan kepemimpinan spiritual.

7. Sunan Kalijaga atau Raden Syahid, Abad ke-15 hingga awal abad ke-16.

Nama asliya adalah Raden Mas Syahid atau R. Setya. Ia menyebarkan ajaran Islam di daerah Demak. Ia adalah murid Sunan Bonag. Sunan Kalijaga menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah, antara lain kesenian wayang kulit dan tembang suluk Ilir-ilir dan Gundul-Gundul Pacul umumnya dianggap sebagai hasil karyanya. Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq.

Ajaran: Sunan Kalijaga mengajarkan tentang cara menyampaikan pesan agama Islam dengan cara yang sesuai dengan budaya lokal.

8. Sunan Muria atau Raden Umar Said, Abad ke-15 hingga awal abad ke-16.

Sunan Muria dilahirkan dengan nama Raden Umar Said atau Raden Said. Menurut beberapa riwayat, dia adalah putra dari Sunan Kalijaga yang menikah dengan Dewi Soejinah, putrid Sunan Ngudung. Nama Sunan Muria sendiri diperkirakan berasal dari nama gunung (Gunung Muria) yang terletak di sebelah utara kota Kudus, Jawah Tengah, tempat dia dimakamkan.

Ajaran: Sunan Muria mengajarkan tentang pembersihan hati dan pentingnya cinta kasih dalam kehidupan.

9. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, Abad ke-15 hingga awal abad ke-16.

Nama aslinya adalah Syarif Hidayatullah. Ia adalah putra Syarif Abdullah putra Nurul Alam putra Syeikh Jamaluddin Akbar. Dari pihak ibu, ia masih keturunan Keraton Pajajaran melalui Nyai Rara Santang, yaitu anak dari Sri Baduga Maharaja. Sunan Gunung Jati mengembangkan Cirebon sebagai pusat dakwah dan pemerintahannya, yang sesudahnya kemudian menjadi kesultanan Cirebon.

Ajaran: Sunan Gunung Jati mengajarkan tentang pentingnya perjuangan dalam menyebarkan Islam dan keadilan sosial.

​Semoga info ini bermanfaat bagi Anda…

​Sumber bacaan: Pinter PandaiProject Gutenberg, Wikipedia (Inggris), TRT World, The Australian Public Access Network Association Inc, Facts and Details, Kompas, TU DublinKyoto Review of Southeast AsiaDigitala Vetenskapliga Arkivet (pdf), Asia Society, UIN Malang, UNESCO

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *